Sejarah terbentuknya Korps Pegawai Republik Indonesia
MASA REVOLUSI
Awal keberadaan PNS dilakukan melalui rekrutmen besar-besar-an, namun cikal bakal PNS atau korps pegawai RI sebagai anggota birokrasi pemerintahan, berasal dari pegawai bekas Pemerintah Tentara Pendudukan Jepang, yang sebelumnya (Maret 1942) merupakan pegawai Pemerintah Hindia Belanda masih ingin bercokol di bumi Nusantara ini, para PNS banyak yang masih mendua. Tarik menarik terjadi, yaitu antara yang setia dengan negara RI, yang masih takut dengan tentara Jepang, dan yang merasa Hindia Belanda kembali berkuasa.
Kala perjuangan mempertahankan kemerdekaan, misalnya saat agresi pertama dan kedua Belanda (Juli 1947 dan Desember 1948), benih-benih perpecahan dan pertentangan dalam PNS mulai terjadi. Hal ini karena sebagian PNS ada yang lari ke daerah-daerah dan ada pula yang bertahan. Mereka yang bertahan itu, ada yang masih setia dengan RI (non-cooperator) dan ada pula yang bekerja sama dengan Belanda. Masa ini, tata usaha kepegawaian tidak teratur bahkan dapat dikatakan administrasi pemerintahan sama sekali tidak jalan. Namun, kala ini juga pemerintahan NKRI merekrut PNS untuk ditempatkan di desa-desa.
MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)
Awal masa demokrasi liberal, penataan PNS mulai dilakukan, namun tidaklah mudah. Kala itu PNS digolongkan kedalam 3 macam. Pertama, PNS dari Negara Kesatuan RI yang ikut bergerilya. Mereka ini umumya punya semangat berjuang tinggi dan cinta Tanah Air, tapi diantaranya kurang mempunyai keahlian. Kedua, PNS non-cooperator yang dianggap masih punya cinta Tanah Air, tapi kurang semangat untuk berjuang atau tidak tahan menderita. Mereka ini banyak dari pegawai tinggi yang punya keahlian masing-masing. Ketiga, PNS yang sempat bekerja pada Belanda dan negara-negara bonekanya. Mereka ini kerjasama dengan Belanda ada karena tak tahan menderita, ada karena dendam sebab anggota keluarganya digilas oleh roda revolusi, dan ada pula sejak semula anti-RI. Mereka ini umumnya banyak memiliki keahlian dan pengalaman kerja.
Dalam penempatan PNS pada posisi atau bidang kerjanya, pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit. Mau menempatkan PNS pejuang pada posisi yang baik namun mereka pengalaman dan keahliannya kurang. Sementara bila menempatkan PNS berpengalaman dan punya keahlian, terbentur dengan sikap dan semangat mereka semula yang dianggap telah mengkhianati perjuangan. Akibatnya, kebijakan penataan PNS tidak ada yang seragam dan ketidakpuasan pun meluas. Mereka lantas melakukan berbagai upaya, antar lain memasuki partai politik. Suasananya pun jadi hingar bingar, terlebih pergolakan politik sering terjadi, antara lain ditandai dengan jatuh bangunnya kabinet.
Partai politik sendiri pada kala itu agresif melakukan intervensi dalam birokrasi pemerintahan. Mereka merekrut PNS dalam segala tingkatan menajdi anggotanya. PNS dianggap strategis karena punya pengaruh dalam masyarakat. Bagai gayung bersambut, banyak PNS masuk parpol untuk mengangkat karirnya. Agresivitas parpol ini terutama ditunjukkan oleh parpol yang berkuasa. Cara-caranya pun tanpa mengindahkan norma. Pengangkatan PNS dalam suatu jabatan tidak lagi didasarkan kecakapan dan daftar urut kepangkatan, melainkan berdasarkan kartu keanggotaan partai. PNS yang bukan dari partai berkuasa, jangan berharap aman pada posisi jabatanya.
Jabatan-jabatan penting direbut oleh parpol berkuasa. Pejabat yang bukan dari partai berkuasa diganti. Apabila seorang kepala telah digeser, maka dibawahnya juga segera digeser, digantikan oleh orang-orang yang sehaluan dengan yang diatasnya. Kondisi silih berganti terjadi, seirama dengan penggantian kabinet sehingga nasib PNS berada dalam lingkaran setan yang tidak berujung pangkal. Suasana saling curiga, saling intip kesalahan, banyak mewarnai PNS. Kerjasama dalam satu unit tugas menjadi sulit terjalin.
Akibat lebih jauh, loyalitas jadi ganda. Satu pihak PNS itu tunduk pada atasan resmi di kantor, dan pihak lain ia tunduk pada atsan partainya. Administrasi pemerintah cenderung tak jalan karena kepentingan partai lebih utama dari kepentingan negara. Jadi tidaklah aneh, kalau saat itu rahasia negara sering bocor. Pelaku kebocoran adalah PNS dari partai oposisi yang mendapat tugas partainya untuk melaporkan rencana dan kegiatan pemerintah.
Suasana kacau balau pembinaan PNS itu mulai akhirnya disadari, dan karena itu keluarlah UUD Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok pemerintahan Daerah. UU ini boleh disebut awal adanya otonomi daerah. Kala itu ditetapkan bahwa jenis kepegawaian tidak lagi satu (Pegawai Negeri Sipil) tapi menjadi dua, yaitu Pegawai Pusat dan Pegawai Daerah. Namun penataan ini, malah belum menyelesaikan masalah, pengangkatan Pegawai Daerah terjadi tanpa memperhatikan syarat-syarat teknis kepegawaian. Kesenjangan dan perbedaan kualitas Pegawai Pusat dan Pegawai Daerah pun terjadi.
MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959-1965)
Masa demokrasi terpimpin muncul setelah lahir Dekrit Presiden Soekarno pada Juli 1959 yang menyatakan Indonesia kembali kepada UUD 1945. Era ini, upaya makin membenahi birokrasi telah dilakukan. Intervensi parpol terhadap PNS dihentikan. Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 1959 menetapkan bahwa PNS golongan F tidak boleh menjadi anggota parpol. Ketentuan ini ditanggapi positif karena sebagian besar PNS golongan F itu melepaskan keanggotaan partainya. Mereka rupanya semalam ini mau menjadi anggota partai hanya karena terpaksa keadaan atau untuk lekas naik pangkat dan jabatan empuk saja. Namun,mereka ini dihujat oleh bekas partainya dan dicap sebagai penghianat.
Hal ini membuat ada sejumlah PNS formalnya melepaskan keanggotaan partai tapi sehari-hari masih ikut kegiatan partai meski ada yang secara sembunyi. Peraturan Presiden Nomor 2/1959 bertujuan baik karena dalam rangka usaha memulihkan keutuhan dan kekompakan segenap PNS sebagai Aparatur Negara. Sayangnya, perkembangan selanjutnya jadi lain. PNS lagi-lagi jadi bulan-bulanan kepentingan politik. Kebijakan Bung Karno yang membangun Nasakom, memaksa orang memilih apakah ia masuk golongan Nas(Nasionalis), A(Agama) atau Kom(Komunis). Lembaga-lembaga negara cenderung di Nasakomkan. Parpol yang menjadi tulang punggung struktur politik Nasakom, dangan berbagai ccara dan kedok, berlomba menguasai kedudukan penting dalam briokrasi pemerintahan. Masa ini, lembaga-lembaga baru diciptakan tapi tidak jelas tugasnya, kecuali ingin menimbulkan publikasi, saling rebut tugas dan kekuasaan. Bahkan lembaga baru ini banyak mengangkat PNS baru dengan alasan PNS lama terlampau konvensional, lamban, dan tidak dapat mengikuti gejolak revolusi. Lagi-lagi PNS baru yang diangkat itu dari anggota parpol yang menjadi mendukung Nasakom, tanpa mengikuti teknis kepegawaian. Akibatnya, pembagian tugas dan wewenang PNS jadi kabur.
Dalam kondis demikian, Partai Komunis Indonesia (PKI) berada dalam posisi yang menguntungkan. Agresifitas partai ini luar biasa, karena mereka mampu mendekati Bung Karno. Terlebih lagi pada penghunjung 1960, partai Masyumi dan PSI yang pernah berkuasa, dibubarkan oleh Bung Karno karena dituduh terlibat dalam pemberontakan. PKI waktu itu boleh dikata mampu menguasai birokrasi. Kanto Urusan Pegawai yang mengendalikan dan meguasai bidang kepegawaian, berhasil mereka grogoti wewnangnya. Kader PKI menyusup ke semua serikat-serikat kerja yang ada pada masing-masing departemen dan lembaga pemerintahan yang ada. Jabatan-jabatan pimpinan serikat sekerja dikuasai PKI, baik memimpin langsung atau menempatkan orang-orang yang dapat mereka kendalikan. Malah tidak sedikit, anggota-anggota serikat kerja yang masuk ormas yang ternyata tanpa disadari berada di bawah naungan bendera PKI.
ORDE BARU
Akhirnya (1966) Orde Baru lahir, setelah kekuasaan Soekarno beralih ke Soeharto yang sebelumnya diawali dengan penumpasan pemberontakan Gerakan 30 September 1965/PKI. Orde Baru kala itu mendapat dukungan dari rakyat. Administrasi pemerintahan yang kacau mulai ditata kembali. Spoil syistem bidang kepegawaian yang terjadi sejak masa demokrasi liberal dan makin parah masa demokrasi terpimpin diakhiri. Pemerintah kala itu bertekad membina PNS berdasarkan sistem karir dan sistem prestasi kerja. Selain itu keutuhan dan kekompakkan PNS diciptakan dan dikembangkan agar PNS dapat menjadi aparatur yang ampuh dalam menyelenggarakan administrasi pemerintahan. Setelah melalui proses panjang, keluar peraturan pemerintah Nomor 6 Tahun 1970. PP ini antara lain menegaskan bahwa penataan PNS tidak boleh berdasarkan perbedaan keturunan, kelamin, agama, partai politik, organisasi massa, golongan dan daerah.
Semua pejabat PNS dalam melaksanakan tugasnya tidak dibenarkan melakukan kegiatan-kegiatan politik. Bahkan, juga terdapat ketentuan tidak boleh menjadi anggota organisai politik tertentu. Tujuan utama kebijakan ini adalah menghindarkan PNS menjadi korban permainan politik atau korban dari luar kehendaknya sendiri.
REFORMASI KORPRI
Kondisi politik Indonesia berubah dengan terjadinya krisis moneter di tahun 1997 yang saat itu nilai Rupiah semakin melemah dibandingkan nilai dollar, bahkan mencapai Rp. 17.000,- (saat ini dollar seharga hampir Rp. 13.000,-). Harga-harga juga naik tidak terkendali. Kepercayaan masyarakat dunia maupun Indonesia terhadap pemerintahan Orde baru menurun. Utang Indonesia di luar negeri direstukturisasi. Disinilah peranan International Moeneter Found (IMF). Terjadinya gelombang demonstran yang besar dan hampir tidak dapat dikendalikan, untung TNI masih utuh dan siap melindungi negara. Puncaknya ialah pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI dan mengangkat B.J. Habibie yang waktu itu sebagai wakil Presiden naik menjadi Presiden RI, dengan pengambilan sumpah di Istana Negaran oleh Mahkamah Agung (Biasanya pengangkatan Presiden, oleh MPR dan di gedung MPR RI Senayan). Era ini di mulai dan dikenal dengan sebutan Era Reformasi.
Imbasnya ialah pada birokrasi, yang semua PNS tergabung dalam KORPRI. Disini masih terjadi perdebatan antara KORPRI bubar atau KORPRI akan menjadi partai sendiri, sehingga tidak jarang pada era ini banyak PNS yang beralih profesi menjadi kader Partai Politik. Hal ini diatur peraturan pemerintah nomor 12 tentang perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999, untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin jadi anggota parta ipolitik. Dengan adanya ketentuan di dalam PP ini membuat anggota KORPRI tidak dimungkinkan untuk ikut dalam kancah partai politik apapun. KORPRI hanya bertekad berjuang untuk menyukseskan tugas Negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian hanya kepada masyarakat, Bangsa dan Negara, tidak kepada partai atau golongan manapun. Sehingga Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian diubah menjadi Undang-undang nomor 43 Tahun 1999, yang isinya sedikit lebih untuk menuju kepada birokrasi pemerintah yang memulai mereformasi diri, mengikuti reformasi masyarakat.
Namun dengan berlakunya otonomi daerah setelah keluarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, PNS sebagai anggota KORPRI kembali masuk dalam lingkaran polotik (terutama untuk PNS yang bereada pada Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota). Era ini ditandai dengan munculnya instilah raja-raja kecil di daerah sehingga keadaan ini lebih terimbas pada pegawai daerah atau pegawai negeri yang dialih status kepegawaiannya menjadi pegawai daerah. Pegawai daerah kembali terjebak dalam politik penguasa daerah. Manajemen karier menjadi tergantung pada kedekatan dan loyalitas kepada kepentingan politik penguasa daerah.
Dari segi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian, telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 dan ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil, serta Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000, namun hal ini tidak melepaskan kedekatan pegawai negeri dari politik. Dan keberadaan PNS terutama di daerah semakin rancu dalam manajemen kariernya karena era reformasi juga ditandai dengan muncul sebagai peraturan yang tidak saling sinkron seperti halnya Undang-undang yang mengatur Guru dan Dosen dengan Undang-undang pemerintahan daerah. Kepala daerah ketika kalah dalam PTUN dari pegawainya masih dapat berkelit karena masih ada aturan lain memberikan keleluasaan untuk melanggengkan intervensi politiknya terhadap PNS. Hal ini dimungkinkan karena pejabat pembina kepegawaian adalah gubernur, bupati/walikota kepala daerah.
Ternyata PNS tidak bisa lepas dari kepentingan politik, sehingga memunculkan pertanyaan :
Selanjutnya memasuki era reformasi maka mulai muncul keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas (loyalitas tunggal) bagi PNS yang dijalankan anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI). Sehingga sempat terjadi perdebatan tentang kiprah Pegawai Negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR. Yang pada akhirnya menghasilkan konsep yang disepakati bahwa PNS yang tergabung dalam korpri haruslah netral secara politik. Disimpulkan bahwa dari awal berdirinya PNS lebih banyak bersinggungan dengan berbagai kepentingan politik dan golongan dan jauh dari tujuan yang sesungguhnya sebagai fungsi pelayanan public. Inilah salah satu sebab mengakarnya berbagai permasalahan PNS dalam tatanan kurun waktu selanjutnya.
(sumber www.korpri.or.id)